Jumat, 13 Juli 2018

ICE CRIME (Chapter 11)

11. SECOND : JATUH DARI ATAS KENYATAAN
--------------------------------------------------------------

Pagi ini kegiatan fun learning kami dimulai. Aku tidak bisa membayangkan harus menjadi guru untuk anak SD. Merepotkan. Sampai didepan kelas, aku dan ketiga temanku sudah disambut oleh anak-anak yang semangat. Semangat karena tidak ada pelajaran. Baru masuk dikelas, perhatianku sudah tertuju pada satu anak yang duduk sendiri dibelakang kelas. Ku senggol Daffa dan kuberi dia kode untuk melihat anak itu tapi nampaknya dia tidak peka dengan yang maksud dan justru malah melihat ke arah lain.
"Halo adek-adek selamat pagi!!", sapa Martha pada anak-anak kelas 3 itu. "Perkenalkan ya, nama kakak Martha, ini temen kakak, kak Krystia, kak Zha, sama Kak Daffa"
"Halo kak!!", sahut mereka semua kompak.
"Oh iya, udah bawa kartu namanya belum nih?", tanya Krystia.
"Udah kak", jawab mereka lagi yang lalu mengangkat kartu nama yang dibawa.
"Ada yang nggak bawa?", tanya Daffa sambil melihat satu kelas namun mereka tidak menjawab. "Zha, bantuin ngomong kek", bisik Daffa padaku.
"Bantuin gimana? Aku paling nggak bisa ngomong sama anak kecil", bisikku balik. Ya, aku memang anak yang kaku kalau sama anak kecil. "Ee... Adek-adek... eengg... sekarang duduk dulu ya dikursinya", kataku terbata-bata.
"Iyaa kak", jawab mereka kompak lagi.

Tak lama setelah anak-anak itu duduk, Krystia langsung membagi 20 anak itu menjadi lima kelompok. Namun anehnya, saat anak yang bernama Fino dimasukkan ke salah satu kelompok justru ditolak oleh temannya sendiri. Penyakit kepoku pun akhirnya kumat lagi.

Setelah Krystia melakukan negosiasi cukup lama, akhirnya anak dikelompok itu mau menerima anak bernama Fino itu. Martha mulai menjelaskan games yang akan dilakukan. Games pertama adalah yel-yel, kedua adalah match games, dan yang terakhir adalah tebak gambar. Games yang mudah untuk anak kelas 3 SD. Martha memberi waktu 15 menit untuk mereka membuat yel yel untuk kelompok mereka yang diberi nama hewan. Ada kuda, kelinci, singa, merpati, dan kucing.

Sambil menunggu, aku melihat keadaan diluar kelas. Ternyata dilapangan ada Team Angela, Dewa, dan Dodo sedang bersama anak kelas 6. Disisi lain lapangan ada team Rama, Nurul, dan dua anak antropologi yang sedang sedang bernyanyi ria bersama anak kelas 1. Hari yang sibuk.
"Bengong aja", ucap Daffa yang tiba-tiba ada disampingku dan membuatku kaget.
"Nggak bengong hahaha", jawabku santai. "Lagi liat-liat suasana diluar aja sih"
"Oh kirain, tadi kok kayaknya kamu bingung banget waktu mau ngomong sama anak-anak?"
"Hmm, gimana ya hahaha, anu sih aku tu emang paling nggak bisa ngasuh anak kecil sebenernya hahaha"
"Kok bisa?"
"Bisa lah hahahaha, nggak cocok emang aku kalo tugas beginian"
"Hmm, kebanyakan bergaul sama yang virtual sih"
"Hahaha, biarin yang virtual yang baik"
"Eh gaes, sini cepetan jangan ngerumpi mulu ih", sahut Martha sambil menarikku dan Daffa. "Liat tuh mereka malah nggak focus, capek aku sama Krys dari tadi ngingetin mulu"
"Biarain aja kalik, jarang-jarang kan mereka begini", saranku.
"Terserah deh", balas Martha sedikit kesal.

*Bel istirahat*
Mumpung masih istirahat, aku berniat untuk ngobrol bareng Fino karena tadi dikelas dia sempat dikucilkan oleh teman-temannya. Ku cari anak itu di kelas tapi tidak ada. Akhirnya aku terpaksa mencarinya dilapangan. Beruntung hari ini semua anak-anak memakai kartu nama yang tercantum kelasnya juga, jadi aku mudah menemukan anak itu. Tak lama mencari, ku temukan dia sedang duduk sendirian di sebuah bangku sambil memakan bekal yang dia bawa. Sendirian.
"Halo Fino", sapaku lalu duduk disampingnya. Awalnya anak itu sempat menyingkir dariku tapi ku Tarik dia untuk kembali duduk. "Kok sendirian aja sih?"
"Nggak kak", jawabnya singkat tanpa menatapku sedikitpun.
Bisa kukatakan jika anak ini tertutup dan memang dia tidak ingin membicarakan masalah yang dia alami. Dalam hal ini, instingku menjadi lebih tajam dari biasanya. Obrolanku dan Fino tidak berjalan mulus seperti yang aku pikirkan. Hampir dari setiap pertanyaan yang aku ajukan hanya dijawab dengan kode anggukan dan gelengan, bahkan malah tidak dijawab sama sekali. Sulit.

**
Untung saja malam ini tidak ada kegiatan, jadinya aku bisa bernafas lega setelah seharian bergulat dengan anak kecil yang kadang susah diatur. Memang jadi guru cobaannya gede.
Sambil menyelesaikan laporan, sambil mendengarkan lagu. Namun seketika hal itu buyar setelah telpon masuk ke ponselku. Ibuku.
"Halo mams", sapaku setelah ku scroll tombol terima.
(Lagi ngapain dek?), sahutnya dari balik telpon.
"Lagi ngerjain laporan aja, oh ya maaf ya nggak bisa nelpon duluan, sibuk soalnya"
(Ya udah nggak pa pa, udah makan belum? Disana gimana boboknya? Banyak nyamuk nggak?)
"Udah kok, tidurnya enak lah disini, adem disini. Mams lagi ngapain?"
(Habis makan malem, oh ya ayahmu nitip salam tuh sama kakak juga)
"Hmm salam balik buat ayah"
(Lah kakak?)
"Nggak usah, males"
(Hahaha ya udah deh, lanjutin lagi sana nugasmu, dah ya bye muah)
"Dadah muah juga",

Manja. Itu kata yang tepat disematkan padaku kalau sama ibuku. Dari dulu sampai sekarang memang aku dan ibuku dekat banget sampai ibuku sering memanjakanku. Mungkin karena aku anak terakhir juga, dan ini yang membuat terkadang sifatku menjadi lebih mirip dengan ibuku. Berbanding terbalik dengan kakakku yang lebih mirip dengan sifat ayahku yang keras dan tegas. Bahkan saudara-saudaraku juga bilang kalau aku dan kakakku seperti langit dan bumi.
"Zha, keluar yok", ajak Tyo.
"Kemana?"
"Ya keluar aja bareng anak-anak yang laen, mumpung free nih"
"Iya bentar ya, tunggu diluar aja dulu"
"Iya, cepetan ya"
"Hmmm", aku pun langsung menutup buku laporanku dan memakai jaket karena diluar dingin.

Benar saja, banyak anak yang lagi nongkrong. Ada yang di warung minum kopi sambil ngrokok, ada yang kongkow di rumah orang, dan ada juga yang main catur bareng warga. Dan anehnya, tidak ada tanda-tanda dosen.
"Dosen pada kemana?", tanyaku pada Tyo.
"Lagi pada pergi ke Temanggung, makannya anak-anak pada berani"
"Pantesan", aku pun lantas duduk disebuah batu besar yang letaknya tak jauh dari sebuah rumah. Berteman udara malam, dan lagu dari ponselku. Aku lebih senang menyendiri daripada harus berkumpul dengan orang lain yang nantinya justru bisa menjadi masalah untukku.
"Sendirian aja", sahut Dodo sambil menarik earphone yang terpasang ditelinga kiriku.
"Males kesana, rame tuh liat. Ntar tau-tau ada dosen dateng malah jadi masalah", jawabku santai.
"Halah, kapan lagi bisa bebas. Masa muda bro! Dibuat seneng aja lah"
"Hmm, aku lagi mikir aja gimana nilai semesterku besok"
"Halah nggak usah dipikir, nilaimu pasti baguse"
"Bagus seberapa sih, nggak sebagus kakakku sama aja"
"Perfectionis ah, dari dulu sifatmu nggak berubah"
"Bukannya gitu, kalo nilaiku nggak bisa setara sama kak Yan ujung-ujungnya ntar ayahku bakal marah ke aku, cermah ini lah itu lah, kan males jadinya"
"Nggak usah didengerin lah, anggep aja angin lalu"
"Pengennya gitu, mending kalo hari itu doang, ini bisa ampe seminggu diomelin, siapa yang nggak gila coba?!", dan seketika aku jadi curhat ke Dodo sampai dia bingung sendiri harus menanggapi seperti apa.

**

Hari terakhir Live-in.
Siang ini rombongan kampusku akan kembali ke Semarang. Akhirnya aku bisa kembali ke kamar kesayanganku dan terbebas dari tugas yang merepotkan. Baru beberapa hari disini, tapi rasanya badanku sudah pegal ditambah kemarin aku sempat kena lempar batu dari anak kecil yang entah apa motivasinya melempariku dan beberapa temanku.

Setelah berpamitan dengan orang tua asuh kami, dan melakukan bakti sosial di desa, kami semua langsung pulang semarang. Seperti biasa, di bus anak sosiologi selalu ramai. Bani kembali berulah dengan mengerjai beberapa anak perempuan dengan cara ditiup telinganya dari belakang lalu dibuat kaget.

Sampai di kampus, para dosen mengingatkan kalau setelah ini akan libur dua hari untuk istirahat sekaligus mengerjakan makalah tentang live in kemarin.

*

Sampai rumah aku langsung pergi ke kamarku. Menggeletakkan tubuhku dikasur dengan tas dan sepatu masih ku pakai karena saking capeknya. Untungnya ibuku pengertian, jadinya aku tidak kena marah tidur dengan masih mengenakan sepatu.
"Bangun!!", teriak kakakku didekat telingaku. Mendengar suaranya tentu membuatku terkejut dan langsung bangun dengan mata masih merah.
"Enngg sakit telingaku bodo!", ku pukul dia, dan ku dorong keluar dari kasurku.
"Masih ngambek? Ya udah kalo ngambek, padahal mau tak ajak keluar rumah ntar malem"
"Bodo amat!", ku tutup kepalaku dengan bantal, kode tak mau mendengarkan kakakku bicara.
"Ngambekan huuu", ditariklah bantalku dan kakakku langsung lari keluar kamarku.
Karena masih capek, aku memilih tidak menghiraukan kakakku dan kembali tidur.

**

Masuk setelah libur. Melelahkan, membosankan, dan menyedihkan. Libur dua hari seperti tidak ada rasanya. Masuk kuliah dengan tugas yang harus dikumpulkan menjadi siksaan tersendiri bagi mahasiswa. Masuk kelas pertama rasanya sudah seperti dineraka. Ngantuk yang mulai menyerang, ditambah dengan Lelah semakin membuat diri semakin tersiksa. Dua jam sudah terasa seperti 10 jam.
Aku tidak bisa membayangkan jika hari-hari kuliahku akan suram seperti terus. Entah bagaimana kakakku bisa betah setiap hari belajar dan belajar, bahkan kamarnya juga hampir dipenuhi oleh buku. Monoton.

Setidaknya hari ini jam kuliah tidak terlalu padat. Jadinya tidak begitu terasa mengerikan. Kuliah hanya sampai tengah hari. Sore harinya aku sudah berencana untuk tidak kemana-kemana. Main games dikamar lalu tidur. Surga dunia bagiku meskipun hanya hal sederhana.

*

Lima jam bergulat dengan games warewolf favoritku. Lupa waktu itu pasti. Beruntungnya hari ini ibuku dan ayahku pulang malam, jadinya aku aman kalau tidak belajar ditambah kakakku sedang bertapa dikamarnya dan nggak bakal kuluar kamar seharian.

Ku baringkan tubuhku dikasurku. Memandangi langit-langit kamarku yang berwarna biru langit dengan taburan ornament daun bak daun yang tertiup angin. Sebernanya bosan jika harus seharian dikamar, tapi karena rasa mager sudah menyerang apalah dayaku. Daya grativasi dikasurku lebih kuat daripada daya gravitasi bumi.
{Dek! Masakin dong laper nih!!}, teriak kakakku dari luar kamarku. Aku sampai lupa kalo malam ini harus memasak untuk makan malam bersama kakakku karena saking asyiknya main games.
"Dikulkas ada apa aja?!", suruhku pada kakakku untuk mengecek isi kulkas.
"Ada kol, wortel, telur, seledri, kentang sama daun bawang", dikeluarkanlah isi bahan makanan itu dari kulkas.
"Ya wis lah aku bikinin orak-arik telur dulu", kataku lalu mengambil kol dan wortel untuk kupotong. "Bantuin pecahin telurnya kak, tarok di mangkok aja, sekalian kocokin kak"
"Kocokin?? Apanya yang dikocokin aahh??", sebut kakakku dengan nada ambigu dan hampir membuat jariku terkena pisau.
"Telurnya ogeb yang dikocok! Jangan jorok ah kak! Tak lempar pisau og", gerutuku sambil mengacungkan pisau ke tubuh kakakku.
"Siapa yang jorok sih?! Orang nanya apanya dikocokin malah dibilang jorok, otakmu tuh jorok yee"
"Masak sendiri!", ku tinggalkan dapur dan kembali ke kamar.
"Lah ngambek lagi, woy ini gimana?! Baperan ah kayak anak cewek emang!"
"Bodo amat, tuh tinggal goreng aja telurnya sama sayurnya!"

**

"Dewa kemana?", tanya Dany padaku.
"Nggak tau", jawabku bingung. Berkumpul tidak full team rasanya tidak terasa serunya. Tasya sedang ada latihan paduan suara, Dodo ada perkumpulan pecinta alam, Fany yang sedang pacarana dengan kakakku tapi bilangnya ada latihan dance dan Dewa pergi entah kemana.

Diantara kami semua, Dewa memang yang paling tertutup. Lebih tertutup dari Daffa. Bahkan Daffa pun kalau tidak ikut kumpul bareng dia pasti bilang, setidaknya ada kabar.

Udara sore hari yang segar, dengan hembusan angina sepoi-sepoi dan langit senja yang semakin memanjakan suasana hari ini. Kota Semarang terlihat sangat indah disore hari saat dilihat dari bukit gombel. Membuat enggan melewatkan setiap momen senja yang hadir hanya sesaat. Perlahan-lahan matahari mulai meninggalkan bumi dan sudah siap bertukar posisi dengan sang bulan yang sudah siap menyambut. Lampu-lampu kota yang satu per satu mulai menunjukan diri, gemerlap lampu kendaraan yang melintasi jalan kota.

Bulan sudah mulai menunjukan sinarnya. Langit gelap bertabur bintang dengan kerlap-kerlip yang setia menemani bulan. Malam yang indah. Saking asyiknya nongkrong, aku sampai lupa waktu kalau harus pulang tidak boleh lebih dari jam 10 malam sementara sekarang sudah jam 09.30. Tidak mungkin aku bisa pulang ke rumah dalam waktu setengah jam karena tempat nongkrong dan rumahku cukup jauh. Apes. Siap kena omelan kakakku atau ayahku.

Tepat jam 11 malam. Ku langkahkan kakiku masuk ke pintu rumah. Beruntung ruang depan tidak ada orang. Mungkin ayah, ibu, dan kakakku sudah tidur. Akhirnya aku bergegas masuk ke kamarku sebelum ada yang datang. Aku sudah merasa seperti maling yang ingin merampok rumah orang. Ku buka pintu kamarku. Sial. Ternyata didalam kamarku ada kakakku yang sedang duduk manis dimeja belajarku dan tepat memandangiku saat aku masuk.
"Hoaamm, dari mana?!", tanyanya seraya menguap dan menarikku lalu membantingku dikasur.
"Sakit kak!!", berontakku sambil berusaha duduk.
"Sstt ssttt, ntar ayah sama ibu bangun!!", ditutupnya mulutku dengan tangannya. "Dari mana?!", tanya kakakku dengan membuka mulutku serta menatapku sangat tajam dan membuatku takut.
"Habis nongkrong sama temen-temenku di café deket kampus kok", jawabku sedikit ketakutan dan tidak menatapnya sama sekali.
"Kalo ngomong sama orang tatap matanya!!", ditekukanlah kepalaku yang semula munenduk ke arah wajahnya. "Tau nggak, gara-gara kamu kakak hampir aja kena masalah sama ayah! Ayah tadi ngamuk ke kakak waktu tau kamu jam 10 belum pulang! Ayah Taunya kamu pergi sama kakak, jadinya kakak yang kena marah tadi!"
"Ya maafin kak, aku nggak tau kalo sampe rumah jam segini, tadi macet juga dijalan"
"Untung tadi waktu ayah mau tidur, kakak bilang kalo kamu barusan pulang! Kalo nggak habis kamu sama ayah!"
"Maaf deh kak, janji nggak bakal ngulangin lagi"
"Awas ya kalo sampe kamu gini lagi! Kakak nggak segan-segan ngehajar kamu", ancamnya lalu keluar dari kamarku.
Jantungku masih berdegub kencang. Masih tidak percaya dengan yang kakakku lakukan tadi. Aku belum pernah melihat kakakku marah besar seperti ini, karena biasanya kalau dia marah tidak sampai membantingku segala dan bertingkah seperti itu. Seperti psikopat.

**

Setelah kejadian semalam aku sama sekali tak bertegur sapa dengan kakakku. Walaupun sempat berangkat ke kampus bersama, tapi aku lebih memilih diam karena masih takut dengan kakakku. Tidak ada yang menarik dikampusku hari ini. Semuanya monoton dan membuatku bosan. Hanya jam istirahat jeda pelajaran yang membuatku senang. Bebas.

Langit yang semula biru cerah mulai diselimuti awan mendung. Tidak biasanya siang hari mendung. Sisi baiknya siang ini tidak panas. Aku, Fany, Dany, dan Angela ngobrol bersama di taman kampus sambil menunggu kelas mulai.
"Dek, nanti kamu pulang duluan ya aku mau ada latihan basket sampe malem", suruh Dany pada Fany dan dibalas dengan anggukan penuh suka cita.
"Tumben basket ampe malem, Dan", tukas Angela.
"Iya nih, mau ada lomba soalnya", jawab Dany.
"Kok kita senasib sih Dan, aku juga ada kegiatan ntar", sahutku sedih.
"Emang kamu ada acara apaan?", tanya Fany.
"Ada lemburan buat majalah kampus, jadi kepaksa deh ngerjain diruang jurnalis ntar ampe malem", kutundukan kepalaku.
"Berarti kakakmu pulang sendiri?", bisik Fany padaku lalu kukode dengan acungan jempol.
"Hahaha, kasian banget sekarang kalian. Sibuk mulu kerjaannya", ledek Angela dengan tawa yang jahat dan sangat puas. Tiba-tiba kakakku datang menemuiku.
"Eh kak Bryant", sapa Angela spontan saaat melihat kakakku datang.
"Yo. Dek, kamu kok kakak telpon nggak bisa?", ucap kakakku.
"Lowbat, belum aku chas tadi lupa", balasku singkat sedikit merasa takut.
"Oh ya udah, katanya kamu ada acara ya ntar malem?"
"Hmmm", jawabku berdehem lalu dia menarikku dan membawaku sedikit menjauh dari teman-temanku.
"Kamu kenapa sih dek?! Aneh banget dari tadi pagi"
"Aneh apanya coba?! Ngapain sih?!"
"Nah gini dong, baru adekku. Nggak pa pa sih, ya udah kalo pulang malem ntar aku jemput. Aktifin tuh ponselnya"
 "Iya ah bawel! Noh si Fany anterin pulang ntar", tukasku dan kakakku mengiyakan lalu pergi.

*

"Ini kenapa banyak banget yang belum diedit naskahnya?!", keluhku sambil mengacak-acak rambutku karena pusing meratapi naskah untuk majalah yang masih kacau.
"Iya nih Zha, gak karuan bener reporter yang kemarin tugas, bikin nambahin kerjaan aja", sahut Vio setuju denganku.
"Tinggal besok waktu rapat evaluasi bahas aja, kesel aku juga nih", tambah kak Evan jengkel.
"Gila emang reporternya, udah tau yang ngerjain Cuma empat orang doang malah diginiin, udah besok deadline lagi", ucap kak Nana. "Si Sandra juga nih, pake kemarin malah holiday segala, kan gini jadinya, Zha kalo kamu capek gantian aja sini ngeditnya"
"Nggak kok kak, masih aman ini", balasku sambil mengutak-atik naskah yang ada dihadapanku.

Mungkin aku memang memiliki pengalaman lebih dalam dunia jurnalistik karena pernah magang di kantor berita. Meskipun begitu, tetap saja aku hanya manusia biasa yang pasti punya titik kelelahan.
Dingin ruangan ber-ac menyatu dengan dinginnya hujan deras yang menjadikan malam ini sedikit tidak menyebalkan. Aku dan teman-temanku yang mengerjakan majalah sejenak merasa sangat Lelah karena saking banyaknya materi yang numpuk.
"Kantin kampus masih buka gak ya jam segini", tanya Vio dan melihat jam yang sudah menunjukan angka setengah delapan malam.
"Masih kalik, kan malem ini masih banyak anak dikampus", balasku sambil masih mengedit naskah.
"Ya udah deh ntar aja ke kantinnya", jawab Vio lalu kembali membuat cover majalah yang dari tadi belum selesai.

Tepat pukul 8 malam. Hujan mulai tidak sederas tadi dan dingin pun juga mulai sedikit berkurang. Pekerjaan yang masih belum selesai pun senantiasa setia menemani kami di ruang jurnalistik. Tiba-tiba sms masuk ke ponselku, yang ternyata itu dari kakakku yang mengatakan dia sudah dikantin kampus menungguku selesai. Tak berselang lama tiba-tiba Fany meleponku.
"Halo Fan", sapaku.
[Halo, Zha. Eng.. Zha kamu masih kampus], sahut Fany dari balik telpon.
"Masih kok, kenapa?"
[Anu sih, kamu ada ketemu Dany nggak? Dia aku telpon nggak diangkat dari tadi], terdengar suara khawatir dari Fany.
"Tadi sorean ketemu sih waktu dia mau ke aula terus habis itu nggak ketemu lagi, ntar aku coba nyari dia soalnya masih hujan disini", ucapku memenangkannya.
[Iya deh, makasi ya Zha, salam buat kakakmu, bye], tutup Fany.
"Vio, kamu mau ke kantin kan? Yok barengan", ajakku pada Vio dan dia langsung mengiyakan.

Sebenarnya alasanku mengajak Vio ke kantin sekaligus mencari Dany. Siapa tahu kami ketemu. Aku dan Vio berjalan melewati lorong yang sepi. Lorong gedung fakultas ilmu budaya memang terkenal seperti ini. Tidak siang atau malam pasti sepi. Apalagi semenjak peristiwa kak Roby, banyak mahasiswa yang jarang pulang malam-malam lagi, jika ada yang pulang malam pastilah terpaksa karena ada kegiatan.

Baru menginjakkan kaki di kantin, ternyata para mahasiswa sedang menunggu hujan reda sambil nongkrong disini. Berhubung tidak ada dosen yang dikampus, jadinya para mahasiswa bebas melakukan hal apapun disini. Ada yang merokok sambil main kartu, bahkan sampai ada yang membawa semacam bir atau apalah itu yang aku tidak mengerti.

Vio langsung pergi memesan makan dan menemui temannya, sementara aku mencari kakakku yang katanya sudah menunggu. Akhirnya aku menemukan dia sedang duduk bersama temannya. Reflek ada teman kakakku yang melihatku dan langsung memanggilku menyuruhku bergabung.
"Kak!", kutepuk pundak kakakku yang sedang asyik bermain gitar.
"Eh dek, sini duduk", suruhnya.
"Ini adekmu to Yant? Baru tau aku e", sahut salah seorang teman kakakku. "Nggak mirip soale Yant hahahaha"
"Wah emang bangsat og kowe Sat!", semprot kakakku sedikit kasar pada temannya yang ku tebak Namanya Satria.
"Dek dek, Bryant nek dirumah piye? Kayak orang autis gak? Hahaha", cletuk salah seorang lagi dan membuat seisi meja tertawa.
"Autis?", tanyaku polos.
"Huss huss, gak usah didenger dek. Yok minggir ae, sesat ntar kalo kelamaan kumpul bareng mereka", balas kakakku yang sudah jengkel dan mengajakku sedikit menjauh mencari tempat kosong.
"Keran yak kumpulanmu kak, kacau semua hahaha kirain seorang kak Bryant yang jenius kumpulannya waras eh ternyata hahaha", ledekku.
"Setan semua mereka tu"
"Ntar aku masih agak lamaan ya, belum kelar soale"
"Ya wis lah dek, oh ya ntar aku beliin bensin dulu ya, nggak bawa dompet soale"
"Bensin mobil?"
"Iya lah, yang bener ae ujan-ujan bawa motor, bodo ih", ucap kakakku menirukan logat bicaraku dan menyentil jidatku.

15 menit berlalu, aku dan Vio kembali ke ruang jurnalistik. Di kantin aku menemukan Dany dimana. Pikiranku, mungkin dia sedang di aula bersama anak basket yang lainnya. Karena letak ruang jurnalistik yang ada diantara gedung fakultas ilmu budaya dan psikologi, Vio memilih berjalan melewati gedung psikologi. Katanya itung-itung istrihat.

Hujan sudah mulai sedikit mereda, dan terlihat ada beberapa mahasiswa yang bergegas pulang ke rumahnya. Ada salah seorang anak basket yang sempat melewatiku dan Vio. Akhirnya aku bertanya padanya dimana Dany, dan anak itu menjawab Dany sedang berada di ruang sarpras olah raga mengembalikan bola basket. Kebetulan Ruang sarpras olah raga letaknya di lantai 3 gedung fakultas psikologi.

Setelah tau Dany dimana, aku dan Vio lanjut kembali ke ruang jurnalistik. Setidaknya Dany baik-baik saja. Sejenak aku teringat kalau aku meninggalkan buku psikologiku diloker kelas. Akhirnya ku ajak vio masuk ke gedung psikologi sebentar untuk mengambil bukuku. Gedung psikologi sepi, dan ternyata kalau malam cukup membuat mrinding.
[Aarrgghhh!!!!] {buk!}
Terdengar suara teriakan seseorang dan suara seperti benda terjatuh yang sangat keras. Aku dan Vio sontak terkejut dan sedikit takut saat mendengar suara itu muncul.
"Suara apaan tuh Zha??", tanya Vio ketakutan.
"Ngg.. aku nggak tau", jawabku bingung dan sedikit takut. Akhirnya ku telpon kakakku untuk kemari dan mengajak beberapa temannya.

Tak butuh waktu lama, mereka datang dan aku langsung menunjuk dari mana arah suara tadi. Aku yakin jika sumber suara tadi berada didekat tangga yang menuju ke lantai dua dan tiga. Kami semua pergi kesana dengan sedikit ketakutan ditambah lagi lampu gedung yang sedikit redup membuat bulu kuduk semakin naik.
"Eh eh bentar deh, itu apaan?", tunjuk kakakku saat melihat sesuatu yang tergeletak di lantai.
"Udah samperin aja lama!", suruh teman kakakku yang langsung berlari ke arah sesuatu itu. "Aaaaaaa!!! Woy!!! Sini woyy cepetan!!", tiba-tiba dia berteriak ketakutan dan berjalan mundur menjauhi benda itu.
Kami pun mau tidak mau langsung menghampirinya.
"Astagfirullah ya allah!", ucap Vio terkejut dan langsung menutup matanya.
"Ya tuhan!", kataku semakin terkejut saat melihat apa yang sedang ku lihat saat ini.

Aku seakan tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Seluruh badanku langsung merinding dan terasa sangat lemas, bahkan kakiku pun hampir tak kuat menopang diriku. Kakakku langsung memegangiku saat aku akan terjatuh dari tempatku berdiri. Apakah ini nyata? Apakah yang aku lihat ini benar terjadi? Pikiranku kacau. Sangat kacau. Aku tidak bisa membayangkan hal ini terjadi.

Dany. Dia meninggal bersimbah darah. Darah mengalir deras dari kepalanya. Dia sepertinya terjatuh dari atas lantai tiga dan langsung tewas seketika saat kepalanya menghantam lantai. Lantai dipenuhi oleh darah. Phobia darahku langsung kumat saat melihat Dany. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya Fany saat tahu kembarannya meninggal dengan keadaan yang mengenaskan seperti ini.

Aku masih belum bisa mempercayai hal ini. Sahabat dekatku meninggal tepat didepanku. Meninggal dengan cara yang mengerikan. Sedih dan terkejut. Semuanya campur aduk dan berkecamuk dalam diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ICE CRIME (Chapter 11)

11. SECOND : JATUH DARI ATAS KENYATAAN -------------------------------------------------------------- Pagi ini kegiatan fun learning ...