11. SECOND : JATUH DARI ATAS KENYATAAN
--------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------
Pagi ini kegiatan fun learning
kami dimulai. Aku tidak bisa membayangkan harus menjadi guru untuk anak
SD. Merepotkan. Sampai didepan kelas, aku dan ketiga temanku sudah
disambut oleh anak-anak yang semangat. Semangat karena tidak ada
pelajaran. Baru masuk dikelas, perhatianku sudah tertuju pada satu anak
yang duduk sendiri dibelakang kelas. Ku senggol Daffa dan kuberi dia
kode untuk melihat anak itu tapi nampaknya dia tidak peka dengan yang
maksud dan justru malah melihat ke arah lain.
"Halo adek-adek selamat
pagi!!", sapa Martha pada anak-anak kelas 3 itu. "Perkenalkan ya, nama
kakak Martha, ini temen kakak, kak Krystia, kak Zha, sama Kak Daffa"
"Halo kak!!", sahut mereka semua kompak.
"Oh iya, udah bawa kartu namanya belum nih?", tanya Krystia.
"Udah kak", jawab mereka lagi yang lalu mengangkat kartu nama yang dibawa.
"Ada yang nggak bawa?",
tanya Daffa sambil melihat satu kelas namun mereka tidak menjawab. "Zha,
bantuin ngomong kek", bisik Daffa padaku.
"Bantuin gimana? Aku
paling nggak bisa ngomong sama anak kecil", bisikku balik. Ya, aku
memang anak yang kaku kalau sama anak kecil. "Ee... Adek-adek...
eengg... sekarang duduk dulu ya dikursinya", kataku terbata-bata.
"Iyaa kak", jawab mereka kompak lagi.
Tak lama setelah
anak-anak itu duduk, Krystia langsung membagi 20 anak itu menjadi lima
kelompok. Namun anehnya, saat anak yang bernama Fino dimasukkan ke salah
satu kelompok justru ditolak oleh temannya sendiri. Penyakit kepoku pun
akhirnya kumat lagi.
Setelah Krystia
melakukan negosiasi cukup lama, akhirnya anak dikelompok itu mau
menerima anak bernama Fino itu. Martha mulai menjelaskan games yang akan dilakukan. Games pertama adalah yel-yel, kedua adalah match games, dan yang terakhir adalah tebak gambar. Games
yang mudah untuk anak kelas 3 SD. Martha memberi waktu 15 menit untuk
mereka membuat yel yel untuk kelompok mereka yang diberi nama hewan. Ada
kuda, kelinci, singa, merpati, dan kucing.
Sambil menunggu, aku
melihat keadaan diluar kelas. Ternyata dilapangan ada Team Angela, Dewa,
dan Dodo sedang bersama anak kelas 6. Disisi lain lapangan ada team
Rama, Nurul, dan dua anak antropologi yang sedang sedang bernyanyi ria
bersama anak kelas 1. Hari yang sibuk.
"Bengong aja", ucap Daffa yang tiba-tiba ada disampingku dan membuatku kaget.
"Nggak bengong hahaha", jawabku santai. "Lagi liat-liat suasana diluar aja sih"
"Oh kirain, tadi kok kayaknya kamu bingung banget waktu mau ngomong sama anak-anak?"
"Hmm, gimana ya hahaha, anu sih aku tu emang paling nggak bisa ngasuh anak kecil sebenernya hahaha"
"Kok bisa?"
"Bisa lah hahahaha, nggak cocok emang aku kalo tugas beginian"
"Hmm, kebanyakan bergaul sama yang virtual sih"
"Hahaha, biarin yang virtual yang baik"
"Eh gaes, sini cepetan
jangan ngerumpi mulu ih", sahut Martha sambil menarikku dan Daffa. "Liat
tuh mereka malah nggak focus, capek aku sama Krys dari tadi ngingetin
mulu"
"Biarain aja kalik, jarang-jarang kan mereka begini", saranku.
"Terserah deh", balas Martha sedikit kesal.
*Bel istirahat*
Mumpung masih istirahat,
aku berniat untuk ngobrol bareng Fino karena tadi dikelas dia sempat
dikucilkan oleh teman-temannya. Ku cari anak itu di kelas tapi tidak
ada. Akhirnya aku terpaksa mencarinya dilapangan. Beruntung hari ini
semua anak-anak memakai kartu nama yang tercantum kelasnya juga, jadi
aku mudah menemukan anak itu. Tak lama mencari, ku temukan dia sedang
duduk sendirian di sebuah bangku sambil memakan bekal yang dia bawa.
Sendirian.
"Halo Fino", sapaku
lalu duduk disampingnya. Awalnya anak itu sempat menyingkir dariku tapi
ku Tarik dia untuk kembali duduk. "Kok sendirian aja sih?"
"Nggak kak", jawabnya singkat tanpa menatapku sedikitpun.
Bisa kukatakan jika anak
ini tertutup dan memang dia tidak ingin membicarakan masalah yang dia
alami. Dalam hal ini, instingku menjadi lebih tajam dari biasanya.
Obrolanku dan Fino tidak berjalan mulus seperti yang aku pikirkan.
Hampir dari setiap pertanyaan yang aku ajukan hanya dijawab dengan kode
anggukan dan gelengan, bahkan malah tidak dijawab sama sekali. Sulit.
**
Untung saja malam ini
tidak ada kegiatan, jadinya aku bisa bernafas lega setelah seharian
bergulat dengan anak kecil yang kadang susah diatur. Memang jadi guru
cobaannya gede.
Sambil menyelesaikan laporan, sambil mendengarkan lagu. Namun seketika hal itu buyar setelah telpon masuk ke ponselku. Ibuku.
"Halo mams", sapaku setelah ku scroll tombol terima.
(Lagi ngapain dek?), sahutnya dari balik telpon.
"Lagi ngerjain laporan aja, oh ya maaf ya nggak bisa nelpon duluan, sibuk soalnya"
(Ya udah nggak pa pa, udah makan belum? Disana gimana boboknya? Banyak nyamuk nggak?)
"Udah kok, tidurnya enak lah disini, adem disini. Mams lagi ngapain?"
(Habis makan malem, oh ya ayahmu nitip salam tuh sama kakak juga)
"Hmm salam balik buat ayah"
(Lah kakak?)
"Nggak usah, males"
(Hahaha ya udah deh, lanjutin lagi sana nugasmu, dah ya bye muah)
"Dadah muah juga",
"Dadah muah juga",
Manja. Itu kata yang
tepat disematkan padaku kalau sama ibuku. Dari dulu sampai sekarang
memang aku dan ibuku dekat banget sampai ibuku sering memanjakanku.
Mungkin karena aku anak terakhir juga, dan ini yang membuat terkadang
sifatku menjadi lebih mirip dengan ibuku. Berbanding terbalik dengan
kakakku yang lebih mirip dengan sifat ayahku yang keras dan tegas.
Bahkan saudara-saudaraku juga bilang kalau aku dan kakakku seperti
langit dan bumi.
"Zha, keluar yok", ajak Tyo.
"Kemana?"
"Ya keluar aja bareng anak-anak yang laen, mumpung free nih"
"Iya bentar ya, tunggu diluar aja dulu"
"Iya, cepetan ya"
"Hmmm", aku pun langsung menutup buku laporanku dan memakai jaket karena diluar dingin.
Benar saja, banyak anak
yang lagi nongkrong. Ada yang di warung minum kopi sambil ngrokok, ada
yang kongkow di rumah orang, dan ada juga yang main catur bareng warga.
Dan anehnya, tidak ada tanda-tanda dosen.
"Dosen pada kemana?", tanyaku pada Tyo.
"Lagi pada pergi ke Temanggung, makannya anak-anak pada berani"
"Pantesan", aku pun
lantas duduk disebuah batu besar yang letaknya tak jauh dari sebuah
rumah. Berteman udara malam, dan lagu dari ponselku. Aku lebih senang
menyendiri daripada harus berkumpul dengan orang lain yang nantinya
justru bisa menjadi masalah untukku.
"Sendirian aja", sahut Dodo sambil menarik earphone yang terpasang ditelinga kiriku.
"Males kesana, rame tuh liat. Ntar tau-tau ada dosen dateng malah jadi masalah", jawabku santai.
"Halah, kapan lagi bisa bebas. Masa muda bro! Dibuat seneng aja lah"
"Hmm, aku lagi mikir aja gimana nilai semesterku besok"
"Halah nggak usah dipikir, nilaimu pasti baguse"
"Bagus seberapa sih, nggak sebagus kakakku sama aja"
"Perfectionis ah, dari dulu sifatmu nggak berubah"
"Bukannya gitu, kalo
nilaiku nggak bisa setara sama kak Yan ujung-ujungnya ntar ayahku bakal
marah ke aku, cermah ini lah itu lah, kan males jadinya"
"Nggak usah didengerin lah, anggep aja angin lalu"
"Pengennya gitu, mending
kalo hari itu doang, ini bisa ampe seminggu diomelin, siapa yang nggak
gila coba?!", dan seketika aku jadi curhat ke Dodo sampai dia bingung
sendiri harus menanggapi seperti apa.
**
Hari terakhir Live-in.
Siang ini rombongan
kampusku akan kembali ke Semarang. Akhirnya aku bisa kembali ke kamar
kesayanganku dan terbebas dari tugas yang merepotkan. Baru beberapa hari
disini, tapi rasanya badanku sudah pegal ditambah kemarin aku sempat
kena lempar batu dari anak kecil yang entah apa motivasinya melempariku
dan beberapa temanku.
Setelah berpamitan
dengan orang tua asuh kami, dan melakukan bakti sosial di desa, kami
semua langsung pulang semarang. Seperti biasa, di bus anak sosiologi
selalu ramai. Bani kembali berulah dengan mengerjai beberapa anak
perempuan dengan cara ditiup telinganya dari belakang lalu dibuat kaget.
Sampai di kampus, para
dosen mengingatkan kalau setelah ini akan libur dua hari untuk istirahat
sekaligus mengerjakan makalah tentang live in kemarin.
*
Sampai rumah aku
langsung pergi ke kamarku. Menggeletakkan tubuhku dikasur dengan tas dan
sepatu masih ku pakai karena saking capeknya. Untungnya ibuku
pengertian, jadinya aku tidak kena marah tidur dengan masih mengenakan
sepatu.
"Bangun!!", teriak
kakakku didekat telingaku. Mendengar suaranya tentu membuatku terkejut
dan langsung bangun dengan mata masih merah.
"Enngg sakit telingaku bodo!", ku pukul dia, dan ku dorong keluar dari kasurku.
"Masih ngambek? Ya udah kalo ngambek, padahal mau tak ajak keluar rumah ntar malem"
"Bodo amat!", ku tutup kepalaku dengan bantal, kode tak mau mendengarkan kakakku bicara.
"Ngambekan huuu", ditariklah bantalku dan kakakku langsung lari keluar kamarku.
Karena masih capek, aku memilih tidak menghiraukan kakakku dan kembali tidur.
**
Masuk setelah libur.
Melelahkan, membosankan, dan menyedihkan. Libur dua hari seperti tidak
ada rasanya. Masuk kuliah dengan tugas yang harus dikumpulkan menjadi
siksaan tersendiri bagi mahasiswa. Masuk kelas pertama rasanya sudah
seperti dineraka. Ngantuk yang mulai menyerang, ditambah dengan Lelah
semakin membuat diri semakin tersiksa. Dua jam sudah terasa seperti 10
jam.
Aku tidak bisa
membayangkan jika hari-hari kuliahku akan suram seperti terus. Entah
bagaimana kakakku bisa betah setiap hari belajar dan belajar, bahkan
kamarnya juga hampir dipenuhi oleh buku. Monoton.
Setidaknya hari ini jam
kuliah tidak terlalu padat. Jadinya tidak begitu terasa mengerikan.
Kuliah hanya sampai tengah hari. Sore harinya aku sudah berencana untuk
tidak kemana-kemana. Main games dikamar lalu tidur. Surga dunia bagiku meskipun hanya hal sederhana.
*
Lima jam bergulat dengan games warewolf
favoritku. Lupa waktu itu pasti. Beruntungnya hari ini ibuku dan ayahku
pulang malam, jadinya aku aman kalau tidak belajar ditambah kakakku
sedang bertapa dikamarnya dan nggak bakal kuluar kamar seharian.
Ku baringkan tubuhku
dikasurku. Memandangi langit-langit kamarku yang berwarna biru langit
dengan taburan ornament daun bak daun yang tertiup angin. Sebernanya
bosan jika harus seharian dikamar, tapi karena rasa mager sudah menyerang apalah dayaku. Daya grativasi dikasurku lebih kuat daripada daya gravitasi bumi.
{Dek! Masakin dong laper
nih!!}, teriak kakakku dari luar kamarku. Aku sampai lupa kalo malam
ini harus memasak untuk makan malam bersama kakakku karena saking
asyiknya main games.
"Dikulkas ada apa aja?!", suruhku pada kakakku untuk mengecek isi kulkas.
"Ada kol, wortel, telur, seledri, kentang sama daun bawang", dikeluarkanlah isi bahan makanan itu dari kulkas.
"Ya wis lah aku bikinin
orak-arik telur dulu", kataku lalu mengambil kol dan wortel untuk
kupotong. "Bantuin pecahin telurnya kak, tarok di mangkok aja, sekalian
kocokin kak"
"Kocokin?? Apanya yang dikocokin aahh??", sebut kakakku dengan nada ambigu dan hampir membuat jariku terkena pisau.
"Telurnya ogeb yang dikocok! Jangan jorok ah kak! Tak lempar pisau og", gerutuku sambil mengacungkan pisau ke tubuh kakakku.
"Siapa yang jorok sih?! Orang nanya apanya dikocokin malah dibilang jorok, otakmu tuh jorok yee"
"Masak sendiri!", ku tinggalkan dapur dan kembali ke kamar.
"Lah ngambek lagi, woy ini gimana?! Baperan ah kayak anak cewek emang!"
"Bodo amat, tuh tinggal goreng aja telurnya sama sayurnya!"
**
"Dewa kemana?", tanya Dany padaku.
"Nggak tau", jawabku bingung. Berkumpul tidak full team rasanya
tidak terasa serunya. Tasya sedang ada latihan paduan suara, Dodo ada
perkumpulan pecinta alam, Fany yang sedang pacarana dengan kakakku tapi
bilangnya ada latihan dance dan Dewa pergi entah kemana.
Diantara kami semua,
Dewa memang yang paling tertutup. Lebih tertutup dari Daffa. Bahkan
Daffa pun kalau tidak ikut kumpul bareng dia pasti bilang, setidaknya
ada kabar.
Udara sore hari yang
segar, dengan hembusan angina sepoi-sepoi dan langit senja yang semakin
memanjakan suasana hari ini. Kota Semarang terlihat sangat indah disore
hari saat dilihat dari bukit gombel. Membuat enggan melewatkan setiap
momen senja yang hadir hanya sesaat. Perlahan-lahan matahari mulai
meninggalkan bumi dan sudah siap bertukar posisi dengan sang bulan yang
sudah siap menyambut. Lampu-lampu kota yang satu per satu mulai
menunjukan diri, gemerlap lampu kendaraan yang melintasi jalan kota.
Bulan sudah mulai
menunjukan sinarnya. Langit gelap bertabur bintang dengan kerlap-kerlip
yang setia menemani bulan. Malam yang indah. Saking asyiknya nongkrong,
aku sampai lupa waktu kalau harus pulang tidak boleh lebih dari jam 10
malam sementara sekarang sudah jam 09.30. Tidak mungkin aku bisa pulang
ke rumah dalam waktu setengah jam karena tempat nongkrong dan rumahku
cukup jauh. Apes. Siap kena omelan kakakku atau ayahku.
Tepat jam 11 malam. Ku
langkahkan kakiku masuk ke pintu rumah. Beruntung ruang depan tidak ada
orang. Mungkin ayah, ibu, dan kakakku sudah tidur. Akhirnya aku bergegas
masuk ke kamarku sebelum ada yang datang. Aku sudah merasa seperti
maling yang ingin merampok rumah orang. Ku buka pintu kamarku. Sial.
Ternyata didalam kamarku ada kakakku yang sedang duduk manis dimeja
belajarku dan tepat memandangiku saat aku masuk.
"Hoaamm, dari mana?!", tanyanya seraya menguap dan menarikku lalu membantingku dikasur.
"Sakit kak!!", berontakku sambil berusaha duduk.
"Sstt ssttt, ntar ayah
sama ibu bangun!!", ditutupnya mulutku dengan tangannya. "Dari mana?!",
tanya kakakku dengan membuka mulutku serta menatapku sangat tajam dan
membuatku takut.
"Habis nongkrong sama temen-temenku di café deket kampus kok", jawabku sedikit ketakutan dan tidak menatapnya sama sekali.
"Kalo ngomong sama orang
tatap matanya!!", ditekukanlah kepalaku yang semula munenduk ke arah
wajahnya. "Tau nggak, gara-gara kamu kakak hampir aja kena masalah sama
ayah! Ayah tadi ngamuk ke kakak waktu tau kamu jam 10 belum pulang! Ayah
Taunya kamu pergi sama kakak, jadinya kakak yang kena marah tadi!"
"Ya maafin kak, aku nggak tau kalo sampe rumah jam segini, tadi macet juga dijalan"
"Untung tadi waktu ayah mau tidur, kakak bilang kalo kamu barusan pulang! Kalo nggak habis kamu sama ayah!"
"Maaf deh kak, janji nggak bakal ngulangin lagi"
"Awas ya kalo sampe kamu gini lagi! Kakak nggak segan-segan ngehajar kamu", ancamnya lalu keluar dari kamarku.
Jantungku masih berdegub
kencang. Masih tidak percaya dengan yang kakakku lakukan tadi. Aku
belum pernah melihat kakakku marah besar seperti ini, karena biasanya
kalau dia marah tidak sampai membantingku segala dan bertingkah seperti
itu. Seperti psikopat.
**
Setelah kejadian semalam
aku sama sekali tak bertegur sapa dengan kakakku. Walaupun sempat
berangkat ke kampus bersama, tapi aku lebih memilih diam karena masih
takut dengan kakakku. Tidak ada yang menarik dikampusku hari ini.
Semuanya monoton dan membuatku bosan. Hanya jam istirahat jeda pelajaran
yang membuatku senang. Bebas.
Langit yang semula biru
cerah mulai diselimuti awan mendung. Tidak biasanya siang hari mendung.
Sisi baiknya siang ini tidak panas. Aku, Fany, Dany, dan Angela ngobrol
bersama di taman kampus sambil menunggu kelas mulai.
"Dek, nanti kamu pulang
duluan ya aku mau ada latihan basket sampe malem", suruh Dany pada Fany
dan dibalas dengan anggukan penuh suka cita.
"Tumben basket ampe malem, Dan", tukas Angela.
"Iya nih, mau ada lomba soalnya", jawab Dany.
"Kok kita senasib sih Dan, aku juga ada kegiatan ntar", sahutku sedih.
"Emang kamu ada acara apaan?", tanya Fany.
"Ada lemburan buat majalah kampus, jadi kepaksa deh ngerjain diruang jurnalis ntar ampe malem", kutundukan kepalaku.
"Berarti kakakmu pulang sendiri?", bisik Fany padaku lalu kukode dengan acungan jempol.
"Hahaha, kasian banget
sekarang kalian. Sibuk mulu kerjaannya", ledek Angela dengan tawa yang
jahat dan sangat puas. Tiba-tiba kakakku datang menemuiku.
"Eh kak Bryant", sapa Angela spontan saaat melihat kakakku datang.
"Yo. Dek, kamu kok kakak telpon nggak bisa?", ucap kakakku.
"Lowbat, belum aku chas tadi lupa", balasku singkat sedikit merasa takut.
"Oh ya udah, katanya kamu ada acara ya ntar malem?"
"Hmmm", jawabku berdehem lalu dia menarikku dan membawaku sedikit menjauh dari teman-temanku.
"Kamu kenapa sih dek?! Aneh banget dari tadi pagi"
"Aneh apanya coba?! Ngapain sih?!"
"Nah gini dong, baru adekku. Nggak pa pa sih, ya udah kalo pulang malem ntar aku jemput. Aktifin tuh ponselnya"
"Iya ah bawel! Noh si Fany anterin pulang ntar", tukasku dan kakakku mengiyakan lalu pergi.
*
"Ini kenapa banyak
banget yang belum diedit naskahnya?!", keluhku sambil mengacak-acak
rambutku karena pusing meratapi naskah untuk majalah yang masih kacau.
"Iya nih Zha, gak karuan bener reporter yang kemarin tugas, bikin nambahin kerjaan aja", sahut Vio setuju denganku.
"Tinggal besok waktu rapat evaluasi bahas aja, kesel aku juga nih", tambah kak Evan jengkel.
"Gila emang reporternya, udah tau yang ngerjain Cuma empat orang doang malah diginiin, udah besok deadline
lagi", ucap kak Nana. "Si Sandra juga nih, pake kemarin malah holiday
segala, kan gini jadinya, Zha kalo kamu capek gantian aja sini
ngeditnya"
"Nggak kok kak, masih aman ini", balasku sambil mengutak-atik naskah yang ada dihadapanku.
Mungkin aku memang
memiliki pengalaman lebih dalam dunia jurnalistik karena pernah magang
di kantor berita. Meskipun begitu, tetap saja aku hanya manusia biasa
yang pasti punya titik kelelahan.
Dingin ruangan ber-ac
menyatu dengan dinginnya hujan deras yang menjadikan malam ini sedikit
tidak menyebalkan. Aku dan teman-temanku yang mengerjakan majalah
sejenak merasa sangat Lelah karena saking banyaknya materi yang numpuk.
"Kantin kampus masih buka gak ya jam segini", tanya Vio dan melihat jam yang sudah menunjukan angka setengah delapan malam.
"Masih kalik, kan malem ini masih banyak anak dikampus", balasku sambil masih mengedit naskah.
"Ya udah deh ntar aja ke kantinnya", jawab Vio lalu kembali membuat cover majalah yang dari tadi belum selesai.
Tepat pukul 8 malam.
Hujan mulai tidak sederas tadi dan dingin pun juga mulai sedikit
berkurang. Pekerjaan yang masih belum selesai pun senantiasa setia
menemani kami di ruang jurnalistik. Tiba-tiba sms masuk ke ponselku,
yang ternyata itu dari kakakku yang mengatakan dia sudah dikantin kampus
menungguku selesai. Tak berselang lama tiba-tiba Fany meleponku.
"Halo Fan", sapaku.
[Halo, Zha. Eng.. Zha kamu masih kampus], sahut Fany dari balik telpon.
"Masih kok, kenapa?"
[Anu sih, kamu ada ketemu Dany nggak? Dia aku telpon nggak diangkat dari tadi], terdengar suara khawatir dari Fany.
"Tadi sorean ketemu sih
waktu dia mau ke aula terus habis itu nggak ketemu lagi, ntar aku coba
nyari dia soalnya masih hujan disini", ucapku memenangkannya.
[Iya deh, makasi ya Zha, salam buat kakakmu, bye], tutup Fany.
"Vio, kamu mau ke kantin kan? Yok barengan", ajakku pada Vio dan dia langsung mengiyakan.
Sebenarnya alasanku
mengajak Vio ke kantin sekaligus mencari Dany. Siapa tahu kami ketemu.
Aku dan Vio berjalan melewati lorong yang sepi. Lorong gedung fakultas
ilmu budaya memang terkenal seperti ini. Tidak siang atau malam pasti
sepi. Apalagi semenjak peristiwa kak Roby, banyak mahasiswa yang jarang
pulang malam-malam lagi, jika ada yang pulang malam pastilah terpaksa
karena ada kegiatan.
Baru menginjakkan kaki
di kantin, ternyata para mahasiswa sedang menunggu hujan reda sambil
nongkrong disini. Berhubung tidak ada dosen yang dikampus, jadinya para
mahasiswa bebas melakukan hal apapun disini. Ada yang merokok sambil
main kartu, bahkan sampai ada yang membawa semacam bir atau apalah itu
yang aku tidak mengerti.
Vio langsung pergi
memesan makan dan menemui temannya, sementara aku mencari kakakku yang
katanya sudah menunggu. Akhirnya aku menemukan dia sedang duduk bersama
temannya. Reflek ada teman kakakku yang melihatku dan langsung
memanggilku menyuruhku bergabung.
"Kak!", kutepuk pundak kakakku yang sedang asyik bermain gitar.
"Eh dek, sini duduk", suruhnya.
"Ini adekmu to Yant? Baru tau aku e", sahut salah seorang teman kakakku. "Nggak mirip soale Yant hahahaha"
"Wah emang bangsat og kowe Sat!", semprot kakakku sedikit kasar pada temannya yang ku tebak Namanya Satria.
"Dek dek, Bryant nek dirumah piye? Kayak orang autis gak? Hahaha", cletuk salah seorang lagi dan membuat seisi meja tertawa.
"Autis?", tanyaku polos.
"Huss huss, gak usah
didenger dek. Yok minggir ae, sesat ntar kalo kelamaan kumpul bareng
mereka", balas kakakku yang sudah jengkel dan mengajakku sedikit menjauh
mencari tempat kosong.
"Keran yak kumpulanmu
kak, kacau semua hahaha kirain seorang kak Bryant yang jenius
kumpulannya waras eh ternyata hahaha", ledekku.
"Setan semua mereka tu"
"Ntar aku masih agak lamaan ya, belum kelar soale"
"Ya wis lah dek, oh ya ntar aku beliin bensin dulu ya, nggak bawa dompet soale"
"Bensin mobil?"
"Iya lah, yang bener ae ujan-ujan bawa motor, bodo ih", ucap kakakku menirukan logat bicaraku dan menyentil jidatku.
15 menit berlalu, aku
dan Vio kembali ke ruang jurnalistik. Di kantin aku menemukan Dany
dimana. Pikiranku, mungkin dia sedang di aula bersama anak basket yang
lainnya. Karena letak ruang jurnalistik yang ada diantara gedung
fakultas ilmu budaya dan psikologi, Vio memilih berjalan melewati gedung
psikologi. Katanya itung-itung istrihat.
Hujan sudah mulai
sedikit mereda, dan terlihat ada beberapa mahasiswa yang bergegas pulang
ke rumahnya. Ada salah seorang anak basket yang sempat melewatiku dan
Vio. Akhirnya aku bertanya padanya dimana Dany, dan anak itu menjawab
Dany sedang berada di ruang sarpras olah raga mengembalikan bola basket.
Kebetulan Ruang sarpras olah raga letaknya di lantai 3 gedung fakultas
psikologi.
Setelah tau Dany dimana,
aku dan Vio lanjut kembali ke ruang jurnalistik. Setidaknya Dany
baik-baik saja. Sejenak aku teringat kalau aku meninggalkan buku
psikologiku diloker kelas. Akhirnya ku ajak vio masuk ke gedung
psikologi sebentar untuk mengambil bukuku. Gedung psikologi sepi, dan
ternyata kalau malam cukup membuat mrinding.
[Aarrgghhh!!!!] {buk!}
Terdengar suara teriakan
seseorang dan suara seperti benda terjatuh yang sangat keras. Aku dan
Vio sontak terkejut dan sedikit takut saat mendengar suara itu muncul.
"Suara apaan tuh Zha??", tanya Vio ketakutan.
"Ngg.. aku nggak tau",
jawabku bingung dan sedikit takut. Akhirnya ku telpon kakakku untuk
kemari dan mengajak beberapa temannya.
Tak butuh waktu lama,
mereka datang dan aku langsung menunjuk dari mana arah suara tadi. Aku
yakin jika sumber suara tadi berada didekat tangga yang menuju ke lantai
dua dan tiga. Kami semua pergi kesana dengan sedikit ketakutan ditambah
lagi lampu gedung yang sedikit redup membuat bulu kuduk semakin naik.
"Eh eh bentar deh, itu apaan?", tunjuk kakakku saat melihat sesuatu yang tergeletak di lantai.
"Udah samperin aja
lama!", suruh teman kakakku yang langsung berlari ke arah sesuatu itu.
"Aaaaaaa!!! Woy!!! Sini woyy cepetan!!", tiba-tiba dia berteriak
ketakutan dan berjalan mundur menjauhi benda itu.
Kami pun mau tidak mau langsung menghampirinya.
"Astagfirullah ya allah!", ucap Vio terkejut dan langsung menutup matanya.
"Ya tuhan!", kataku semakin terkejut saat melihat apa yang sedang ku lihat saat ini.
Aku seakan tidak percaya
dengan apa yang ku lihat. Seluruh badanku langsung merinding dan terasa
sangat lemas, bahkan kakiku pun hampir tak kuat menopang diriku.
Kakakku langsung memegangiku saat aku akan terjatuh dari tempatku
berdiri. Apakah ini nyata? Apakah yang aku lihat ini benar terjadi?
Pikiranku kacau. Sangat kacau. Aku tidak bisa membayangkan hal ini
terjadi.
Dany. Dia meninggal
bersimbah darah. Darah mengalir deras dari kepalanya. Dia sepertinya
terjatuh dari atas lantai tiga dan langsung tewas seketika saat
kepalanya menghantam lantai. Lantai dipenuhi oleh darah. Phobia darahku
langsung kumat saat melihat Dany. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
terpukulnya Fany saat tahu kembarannya meninggal dengan keadaan yang
mengenaskan seperti ini.
Aku masih belum bisa
mempercayai hal ini. Sahabat dekatku meninggal tepat didepanku.
Meninggal dengan cara yang mengerikan. Sedih dan terkejut. Semuanya
campur aduk dan berkecamuk dalam diriku.